Pakar Biologi ITS Tanggapi Paus Terdampar di Bangkalan

Adanya puluhan ekor ikan paus yang terdampar di Kabupaten Bangkalan, Madura pada Kamis (18/2) lalu masih mengundang sejumlah pertanyaan.

Pakar Biologi ITS Tanggapi Paus Terdampar di Bangkalan
Kepala Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Analitika Data ITS Dr Dewi Hidayati SSi MSi

Surabaya, HARIAN BANGSA.net – Adanya puluhan ekor ikan paus yang terdampar di Kabupaten Bangkalan, Madura pada Kamis (18/2) lalu masih mengundang sejumlah pertanyaan.

Kepala Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Analitika Data, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Dewi Hidayati SSi MSi memberikan beberapa tanggapan dan jawaban berdasarkan referensi ilmiah terhadap faktor yang mempengaruhi fenomena tersebut dapat terjadi.

Berdasarkan beberapa jurnal dan laporan media massa, pakar biologi kelautan ini mengungkapkan, dalam periode tertentu ikan paus akan melakukan migrasi yang dilakukan secara berkelompok. Umumnya, paus yang bermigrasi melalui perairan Indonesia adalah jenis paus pilot atau short-finned pilot whale.

Sedikitnya ada 52 ekor paus yang terdampar tersebut diperkirakan berasal dari perairan Australia dan akan melewati perairan Indonesia. Dalam sebuah jurnal dari journals.org tentang aktivitas migrasi paus mengungkapkan bahwa migrasi akan mencapai puncaknya pada bulan Februari dan Mei.

“Pada penelitian tersebut dan juga beberapa laporan lain menyebutkan bahwa paus umumnya akan melewati jalur yang sama untuk bermigrasi,” ujarnya, Minggu (21/2).

Berbicara tentang kemampuan paus yang bisa mengingat jalur yang dilalui setiap tahunnya, hal ini bisa dilakukan berkat adanya biomagnitit. Dewi menjelaskan, yang dimaksud biomagnitit  adalah zat yang berada pada retina cetacea yang mempunyai fungsi sebagai indra magnetis yang membantu mereka mengetahui ke arah mana bergerak. “Hal ini membuat paus peka terhadap perubahan medan magnet bumi,” ujarnya.

Dalam sebuah referensi artikel ilmiah berjudul In - depth Whale Navigation: Navigating the Long Way Home karya Robin Marks dikatakan bahwa paus yang mengikuti ‘jalur’ magnet ini kemungkinan besar akan terdampar di daerah yang jalurnya berbelok. “Kemungkinan termasuk di beberapa perairan pantai Pulau Madura dan kawasan Selat Madura,” jelasnya.

Ia memprediksi, jika perubahan yang terjadi pada navigasi paus bisa dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Mulai dari cuaca yang ekstrem, gelombang sinar matahari, perubahan garis pantai, paus sakit, dan bisa saja dari aktivitas kilang minyak yang berada di sekitar perairan. “Karena ada juga referensi yang mengatakan bahwa rig (bangunan lepas pantai) dijadikan patokan magnetik bagi paus,” imbuhnya.

Salah satu dosen yang merupakan anggota Laboratorium Zoologi dan Rekayasa Hewan Biologi ITS ini menyimpulkan, sebenarnya banyak teori terkait anomali ini, karena banyak kasus yang terjadi namun penyebabnya belum diketahui secara pasti. Ia mengamati bahwa pada saat ini masyarakat dengan kearifan lokalnya telah melakukan beberapa upaya penyelamatan.

Diharapkan ke depannya, masyarakat lokal bersama institusi terkait dapat membuat protokol langkah mitigasi dalam menangani kasus paus yang terdampar. Pasalnya, tidak hanya sekali terjadi di Indonesia.

Dengan respon yang tanggap dari masyarakat diharapkan bisa membantu paus untuk kembali melakukan perjalanan migrasinya. “Besarnya tubuh pauslah yang menyebabkan ia tak dapat bermanuver kembali ke laut, sehingga dibutuhkan bantuan langsung dari manusia,” tuturnya.

Dewi menganjurkan langkah-langkah yang dapat dilakukan masyarakat saat ini untuk mengatasi masalah paus terdampar di pantai adalah, memprediksi kapan dan di mana peristiwa paus biasanya terdampar.

“Bisa digalakkan untuk membangun pos paus di sekitar pantai, pos ini berfungsi sebagai pemantau kondisi pantai, juga bisa sebagai media edukasi paus,” jelasnya kemudian.

Apabila masyarakat melihat paus-paus terdampar, ia menganjurkan untuk menjaga paus tetap dalam keadaan basah karena penyebab paus mati disebabkan karena kehilangan kadar air di tubuhnya secara drastis. Langkah ini bisa dilakukan dengan menyiramnya dan membasahi tubuh dengan air laut, atau dengan segera melepasnya ke laut kembali.

Bahkan jika tidak memungkinkan, untuk mengurangi penderitaan, beberapa referensi ilmiah menyarankan euthanasia. Hal ini dikutip dari beberapa referensi, salah satunya dari buku National Guidance on the Management of Whale and Dolphin Incidents in Australian Waters.

Mengenai perlakuan bangkai paus yang ada, Dewi menyarankan untuk mengutamakan membuang bangkai ke laut, karena dengan banyaknya bangkai yang membusuk, dapat dijadikan sebagai sumber makanan predator yang dapat berkontribusi pada rantai makanan laut.

“Atau mungkin dari rangka paus yang mati bisa dijadikan sebagai sumber bahan pengajaran untuk mengembangkan studi tentang mamalia laut ini,” tandas Dewi mengingatkan.(rd)