Reformasi Sektor Keamanan Jalan di Tempat

Tepat hari ini, Senin (5/10), TNI merayakan HUT yang ke-75. Bulan Oktober ini juga menandakan 1 tahun kepemimpinan Jokowi Jilid II.

Reformasi Sektor Keamanan Jalan di Tempat
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie.

Jakarta, HARIAN BANGSA.net - Tepat hari ini, Senin (5/10), TNI merayakan HUT yang ke-75. Bulan Oktober ini juga menandakan 1 tahun kepemimpinan Jokowi Jilid II.

Jika di periode pertama kepemimpinannya, Setara Institute mencatatkan stagnasi reformasi sektor keamanan, pada tahun pertama periode kedua ini pun, Jokowi masih belum menunjukkan kepemimpinan yang efektif dalam menuntaskan agenda reformasi sektor keamanan.

Presiden Jokowi seharusnya berbenah dan kembali mengevaluasi agenda pemerintahannya terkait reformasi militer. Namun, realitas yang terjadi justru memperlihatkan hal sebaliknya: tetap jalan di tempat dan menunjukkan regresi serius dalam beberapa isu reformasi sektor keamanan.

“Empat fokus mandat reformasi TNI menjadi perhatian Setara Institute, yakni, pertama, penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil. Kedua, kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara. Ketiga, kedisiplinan terhadap operasi militer selain perang (OMSP), dan, keempat,  larangan menduduki jabatan sipil,” jelas Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie, dalam siaran persnya, Senin (5/10).

Menurut Ikhsan Yosarie,  janji penuntasan kasu pelanggaran HAM masa lalu, yang diduga melibatkan anggota TNI semakin tidak jelas. Tidak ada langkah signifikan terkait janji penuntasan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, sebagaimana termaktub dalam Nawacita Jilid I Jokowi.

“Realitas hari ini justru terjadi penguatan narasi bahwa kasus Semanggi I dan II, sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bukanlah kasus kejahatan serius yang bisa diadili dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” ungkapnya.

Penguatan narasi yang kurang kondusif bagi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu juga muncul dari Menko Polhukam yang mengklaim tak pernah ada pelanggaran HAM selama Joko Widodo menjabat sebagai Presiden. Pernyataan tersebut ditunjukan untuk membuat distingsi Jokowi dengan presiden sebelumnya, yang secara implisit dapat menjadi pembenaran untuk menghindari tanggung jawab masa lalu.

Penyelesaian kasus HAM masa lalu semakin suram setelah Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116 Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kemhan.

“Dalam Keppres tersebut dilakukan pengangkatan terhadap dua mantan anggota Tim Mawar, yang diduga sebagai aktor penculikan para aktivis pada 1997/1998, sebagai pejabat publik di Kementerian Pertahanan (Kemenhan),” jelas Ikhsan.

Sedangkan Direktur Eksekutif Setara Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, mengatakan, ada persoalan lain dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme. Yakni berupa ketiadaan landasan kebijakan dan keputusan politik negara dalam pelaksanaannya.

“Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme yang diatur dalam RPerpres ini berpotensi melanggar UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI). Dalam RPerpres ini, terutama pasal 2, tidak menyebutkan sama sekali bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme harus dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, yang bersifat temporer,” kata Ismail Hasani.

Setara Institute mencatat 31 konflik TNI-Polri yang terjadi dalam 6 tahun terakhir.  Masing-masing konflik yang tercatat terjadi di daerah yang berbeda, sehingga potensi kemunculan konflik dikarenakan efek domino sangat kecil.

Menurut Ismail Hasani, Setara Institute merekomendasi beberapa hal dalam rangka pemajuan reformasi TNI. Di antaranya, Presiden Jokowi melakukan akselerasi terhadap upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diduga melibatkan oknum TNI, serta percepatan pembahasan dan pengesahan terhadap revisi UU Peradilan Militer sebagai bentuk penghormatan atas HAM dan supremasi sipil.

“DPR perlu aktif dalam pengawasan setiap agenda reformasi TNI. Terutama dalam hal keterlibatan DPR dalam kebijakan dan keputusan politik negara yang menjadi dasar TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU TNI,” jelasnya.(rd)