Program Pengembangan Masyarakat  EMCL-SKK Migas , Nelayan Kian Peduli Lingkungan dan Sadar Keselamatan di Sekitar FSO Gagak Rimang

Program Pengembangan Masyarakat  EMCL-SKK Migas , Nelayan Kian Peduli Lingkungan dan Sadar Keselamatan di Sekitar FSO Gagak Rimang
Fauzi bersama anggota Rukun Nelayan Sedayu Lawas berkomitmen untuk melestarikan Kawasan Bakau Sedayu Lawas sebagai bagian dari upaya mewujudkan lingkungan pesisir yang lebih baik.

Lamongan, HB.net - Fauzi dan anggota Rukun Nelayan Desa Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan sepakat untuk terus melestarikan kawasan bakau di sana. Kawasan pinggir laut yang luasnya hampir mencapai seratus hektare itu membentang dari kawasan hilir anak sungai Bengawan Solo.

Sedayu Lawas dikenal memiliki sejarah penting pada masa kerajaan Jawa. Sejarah yang tidak memisahkan tradisi dan semangat masyarakat nelayan di sana untuk menjadikan tempat tinggalnya nyaman. Motivasi Fauzi pun tidak muluk-muluk. Semangatnya dalam melestarikan kawasan bakau adalah semata ingin lingkungan di sana menjadi lebih baik. Dia meyakini, lingkungan yang baik akan memberi dampak ekonomi baik juga.

“Bakau memang tidak seperti pohon produktif dalam menghasilkan nilai ekonomi. Tapi bakau sangat produktif menghasilkan oksigen, memelihara kelestarian ikan di pesisir, dan mengurangi pencemaran pantai,” ujar Fauzi.

Pria kelahiran 44 tahun lalu itu tidak sendirian. Setidaknya ratusan anggota Rukun Nelayan (RN) Sedayu Lawas mendukung langkah baiknya. Sebagai ketua RN, Fauzi ingin apa yang dilakukannya bermanfaat bagi para nelayan. Lebih dari 200 ribu bakau tertanam di sana, 14 ribu di antaranya merupakan bagian dari Program Pengembangan Masyarakat ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) bersama Rukun Nelayan.

Secara berkala Fauzi memonitor lahan bakau di pesisir Desa Sedayu Lawas dan memastikan pohon-pohon yang baru ditanam dapat tumbuh dengan baik dan kuat.

Sebuah program kolaborasi EMCL untuk penghijauan di kawasan pesisir. Selain melestarikan kawasan mangrove, para nelayan juga mengingatkan rekan-rekan nelayan lainnya untuk menjaga keselamatan dari rumah hingga di laut. Termasuk ketika mendekati zona keselamatan Kapal Alir Muat Terapung atau Floating Storage and Offloading (FSO) Gagak Rimang.

Hal serupa dilakukan nelayan di Kelurahan Karangagung, Kelurahan Kingking, dan Kelurahan Karangsari di Kabupaten Tuban yang mayoritas masyarakatnya adalah nelayan. Begitu pula nelayan di Desa Lohgung, Brengkok, Labuhan, Brondong, dan Desa Paciran di Kabupaten Lamongan.

 “Budaya saling mengingatkan merupakan tradisi kami. Saling membantu dan saling menolong agar kita selamat, dari berangkat hingga pulang kembali ke keluarga,” tutur Fauzi lagi.

Zona Keselamatan FSO Gagak Rimang FSO Gagak Rimang merupakan objek vital nasional yang harus dijaga. Negara mengatur zona terlarang dan terbatas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang kenavigasian. Zona Terlarang berada dalam radius 500 meter dari titik pusat FSO Gagak Rimang dan Zona Terbatas dalam radius 1.750 meter.

Menurut aturan tersebut, nelayan dilarang memasuki Zona Terlarang dan harus menghindari Zona Terbatas. Tujuannya adalah supaya nelayan aman dan selamat. Kapal FSO Gagak Rimang yang panjangnya mencapai tiga kali panjang lapangan sepak bola dengan bobot setara dengan 60 ribu gajah, dirancang untuk bisa berputar penuh mengitari menara tambat. Selain itu, kapal-kapal besar pengambil minyak, hilir mudik di sekitar lokasi tersebut.

Bersama rekan-rekan anggota Rukun Nelayan Sedayu Lawas, Fauzi mengembangkan bibit bakau dan merawatnya hingga siap tanam.

 

Minyak mentah dialirkan melalui pipa berdiamater 20 inci sepanjang 72 kilometer dari Lapangan Banyu Urip di Bojonegoro hingga pantai Palang. Dilanjutkan 23 kilometer pipa menuju Kapal FSO Gagak Rimang. Di Kapal FSO, minyak mentah ditampung dan kemudian diambil oleh kapal-kapal besar untuk dibawa ke tempat kilang penyulingan. Dukungan para nelayan kepada EMCL dalam menjaga keamanan dan keselamatan di sekitar FSO sangat penting. Selain menghindari zona terbatas dan terlarang, nelayan juga mengingatkan nelayan lain jika ada yang melanggar.

Guna menjaga kesadaran masyarakat, EMCL bersama pemerintah terus melakukan sosialisasi baik kepada masing-masing nelayan, melalui organisasi, dan atau melalui forum bersama. Baik melalui komunikasi langsung maupun tidak langsung. Cara formal dan informal juga ditempuh untuk menyampaikan informasi tentang keselamatan ini.

Tercatat sudah 63 kali diselenggarakan sosialisasi formal sejak beroperasinya FSO Gagak Rimang pada 2015. Ratusan kali dilakukan sosialisasi informal bersama nelayan. Berbagai materi kampanye digunakan mulai dari poster, kaos, jaket, dan beragam saluran komunikasi melalui radio, media massa cetak, dan televisi.

External Affairs Manager EMCL, Beta Wicaksono mengatakan, hampir semua pihak mendukung kegiatan sosialisasi ini. Mulai dari rukun nelayan, organisasi nelayan seperti HNSI, TNI Angkatan Laut, Pemerintah daerah, hingga Pemerintah desa. Kolaborasi dan sinergi yang baik bisa mewujudkan komitmen bersama dalam menjaga keselamatan nelayan.

“Kami senang sekaligus berterima kasih kepada semua pihak yang selalu mendukung operasi EMCL. Tanpa kerja sama multipihak yang baik ini, kita tidak mungkin bisa menjaga satu sama lain,” pungkas Beta. (wan/ns)