Tinjau Gempa Jember, Khofifah Ajak Pemda perkuat Mitigasi Gempa dan Tsunami

Berdasarkan catatan BMKG, sepanjang tahun 2013-2015, jumlah gempa bumi di Jawa Timur dengan beragam magnitudo terjadi kurang dari 230 kali per tahun.

Tinjau Gempa Jember, Khofifah Ajak Pemda perkuat Mitigasi Gempa dan Tsunami
Gubernur saat meninjau jalur evakuasi

Jember, HB.net - Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengajak  pemerintah kabupaten/kota disepanjang selatan Jawa Timur memperkuat mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami. Hal ini menyusul selama kurun lima tahun terakhir Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat aktivitas kegempaan diwilayah tersebut mengalami  peningkatan.

Berdasarkan catatan BMKG, sepanjang tahun 2013-2015, jumlah gempa bumi di Jawa Timur dengan beragam magnitudo terjadi kurang dari 230 kali per tahun. Akan tetapi pada 2016 hingga 2020, jumlah gempabumi dengan beragam magnitudo meningkat menjadi lebih dari 450 kali setahun, dengan frekuensi tertinggi 655 kali yaitu pada 2016.

"Kepada kepala daerah mohon untuk segera melakukan audit kelayakan konstruksi bangunan dan infrastruktur, penyiapan jalur dan sarana prasarana evakuasi yang layak dan memadai," ungkap Khofifah saat mengunjungi wilayah terdampak gempa di Desa Ambulu, Dusun Krajan, Kecamatan Ambulu, Kab. Jember dilanjutkan ke pantai Watu Ulo sentra gempa  pada  Sabtu  (18/12).

Sebagai informasi, gempa berkekuatan 5,1 SR terjadi pada Kamis (16/12) pukul 06:01:33 WIB. Gempa berpusat pada lintang 8.55 LS, bujur 113.49 BT dengan kedalaman 10 Km. BMKG memastikan bahwa kekuatan 5,1 SR ini tidak berpotensi menimbulkan tsunami.

Menurut Khofifah, penguatan dalam hal mitigasi tersebut harus dilakukan untuk meminimalisir dampak yang terjadi jika sewaktu-waktu gempa bumi dan tsunami menghamtam selatan Jatim.

Pemerintah Daerah menurut Khofifah harus segera membuat rencana aksi dengan berbagai skenario, dari yang ringan hingga antisipasi  terburuk. Rencana aksi tersebut harus juga mencakup jalur evakuasi, proses evakuasi dan pola penanganan pengungsi jika bencana terjadi.

Selain mitigasi, lanjut Khofifah, perlu juga penguatan dalam hal literasi bencana masyarakat. Dengan begitu masyarakat tidak gagap dan bingung serta tahu harus berbuat apa saat bencana terjadi.

"Masyarakat ini harus mengerti kalau memang suatu daerah berpotensi untuk tsunami, gempa sebenarnya  sudah menjadi early warning system. Maka sosialisasi tentang mitigasi bencana harus ditingkatkan karena masyarakat harus bisa melakukan evakuasi mandiri," jelasnya.

"Karena gak akan nutut, kalau mengikuti ritme dan menunggu relawan datang. Sebab, kemungkinan jarak dari gempa ke tsunami biasanya hanya 20 menit saja," lanjutnya.

Sementara itu,  Kepala Pusat Seismologi Teknik BMKG Pusat Rakhmat mengatakan bahwa sebenarnya gempa berkekuatan 5,1 SR itu tidak berpotensi menimbulkan tsunami maupun kerusakan parah. Hanya saja, permasalahan ada pada struktur bangunan warga yang tidak kuat.

"Jadi ini ada yang salah kalau sampai ada kerusakan  seperti ini. Nah, ini biasanya ada pada konstruksi warga yang tidak kokoh dan kuat. Ini yang seharusnya diperbaiki," terangnya.

Rakhmat menambahkan, pemerintah berperan penting dalam menanggulangi hal-hal seperti ini. Ia berpendapat, harus ada kebijakan ketat terkait pembangunan suatu bangunan."Ini tugas kita bersama. Pemerintah harus ketat dalam memberikan ijin untuk bangunan. Pengecekan konstruksi harus ketat pula. Jadi struktur bangunan harus dibuat siap untuk skenario terburuk," tekannya. (dev/ns)